Wednesday, April 10, 2013

Ancol Membangkitkan Imajinasi dan Talenta Anak



By: Faizah Fauzan

Nama Taman Impian Jaya Ancol (TIJA) begitu lekat di hati pasangan suami isteri Fifi dan Wawi. Keduanya bersyukur, di tengah hiruk pikuk dan kesemrautan kota Jakarta ada sebuah tempat rekreasi yang begitu menyenangkan dan memberikan nilai tambah bagi putera puteri mereka. TIJA telah menghantarkan sebuah keceriaan pada anak-anak mereka yang diyakini akan berbekas hingga mereka dewasa kelak.

Pasangan yang sudah menikah selama 7 tahun dan dikarunai dua buah hati ini menyadari bahwa TIJA bukan hanya sekadar tempat rekreasi, melainkan juga merupakan sarana edukasi yang dapat menggali potensi anak. Pemahaman ini muncul tatkala mereka melihat perkembangan si sulung Fara. Ketika tulisan ini diturunkan (akhir Februari 2013), Fara berusia 4 tahun 6 bulan.

Di mata Fifi dan suaminya, Fara adalah anak yang istimewa. Ia tidak seperti anak biasa. Di awal masa tumbuh kembangnya, Fara terlihat aktif dan energik. Ia sudah bisa berjalan di usia 10 bulan. Dan di usia itu pula ia mulai bernyanyi, menirukan lagu-lagu yang didengarnya melalui VCD atau pun situs Youtube. Mungkin orang bilang Fara hanya bersenandung, tapi menurut ibunya Fara betul-betul bernyanyi karena ia tidak hanya bergumam, ada kata-kata yang keluar dari mulutnya walau tidak begitu jelas. Fara sering menirukan syair lagu dengan bahasa bayinya. “Saya masih teringat betapa lucunya ia menirukan lagu Barnie ‘ love you, you love me, we are happy family’dengan kata-kata “mi ami … mi ami. Itu di usia 10 bulan,” tutur Fifi.

Namun sampai menginjak usia 18 bulan, Fara hanya bernyanyi. Tak ada kata-kata percakapan. Yang keluar dari mulutnya hanya nyanyian. Begitu terbangun di pagi hari, ia sudah bernyanyi. Fara akan terus bernyanyi sepanjang hari. Bahkan dalam menangis dan berurai air mata pun Fara mengungkapkan perasaannya dengan bernyanyi. “Mungkin bisa dibayangkan, dalam kondisi mata basah, Fara menyanyikan lagu ‘Kasih Ibu’ dengan tersedu-sedu.” Bila suara nyanyian tidak lagi terdengar di seantero rumah, itu berarti Fara sudah tertidur,” kata sang ibu.  Diusianya yang belum genap 2 tahun Fara sudah hafal lebih dari sepuluh lagu.

Orang-orang banyak berkata, “Wah hebat ya, masih kecil sudah pintar bernyanyi.” Namun pujian itu membuat hati Fifi getir. Fara memang mudah sekali menghafal syair lagu yang didengarnya, tapi ia tidak merespon kata-kata yang diucapkan ayah ibunya. Fara tidak mengulang ucapan yang dikatakan padanya. Tidak ada fase ekolali yang lazim dialami anak-anak, sehingga di usia 18 bulan pembedaharaan kata yang dikuasainya minim sekali. Tak sampai 5 kata situasional yang bisa diucapkan Fara, yakni meong (ketika melihat gambar kucing), mati (ketika melihat komputer dalam proses shut down), dan  buka (ketika meminta dibukakan sesuatu). Padahal mestinya anak seusianya sudah mengenal puluhan bahkan lebih dari 100 kata.

Ada banyak nama yang membayang-bayangi kondisi Fara. Speech delay, autism spectrum disorder, attention hyperactivity disorder (ADHD), attention deficit disorder (ADD), dan lainnya. Semua nama-nama ini mengarah pada satu label umum, yakni “anak berkebutuhan khusus.” Namun ayah ibunya tidak ingin larut pada label itu. Begitu menyadari problem Fara, mereka bergegas mencari solusi. Dalam kondisi hamil besar, Fifi membawa buah hatinya untuk diobservasi di RSBA Harapan Kita, Jakarta. Tim ahli yang memeriksa mengatakan Fara perlu diterapi. Langkah awalnya adalah terapi sensori integrasi. Fara mulai menjalaninya pada bulan April 2010, seminggu menjelang Fifi melahirkan Umar, anak keduanya. Rasa bahagia menyirami pasangan suami isteri ini,  dalam beberapa kali terapi kemampuan Fara untuk mengulang kata-kata sudah muncul. Ini menjadi titik terang untuk melatih kemampuan tumbuh kembang Fara yang lain.

Hingga kini Fara masih terus menjalani empat jenis terapi, yaitu sensori integrasi, terapi okupasi, terapi wicara, dan terapi perilaku. Ia sudah bisa menjawab pertanyaan dan mengutarakan perasaan dan keinginanannya. Sosialisasi ingin bergaul dengan teman sudah mulai terlihat. Walau masih ada beberapa hal yang lazim dikuasai anak-anak seusianya belum bisa dilakukan Fara.

Rekreasi ke Ancol
Sejak Fara berusia 10 bulan, orang tuanya sering membawanya ke Taman Impian Jaya Ancol. Ini menjadi agenda rutin mereka bila ada saudara dari kampung datang ke Jakarta. Tempat rekreasi  yang cukup sering dikunjungi Fara adalah Atlantis Water Adventures. Ia sangat menikmati bermain air di tempat ini, terutama di kolam bola. (Sayang sekarang kolam bola sudah tidak ada. Terakhir mereka kesana, arena kolam bola sudah berubah menjadi kolam apung).

Di lain waktu, Fara diajak bermain di Pantai Timur, lengkap dengan membawa perangkat rumah tangga seperti ember, mangkok, sendok, dan lainnya untuk dijadikan alat pencetak istana pasir.  Biasanya Fara berlama-lama bermain pasir hingga menjelang sunset. Satu hal “wajib” yang kerap dilakukan bila bermain ke pantai adalah naik perahu layar yang biayanya murah meriah. Selama mengarungi Teluk Jakarta, Fara duduk dengan tenang, menikmati gemercik kala dipecah perahu. Ketika cipratan air laut mengenai wajahnya, ia terlihat senang.

Ketenangan Fara selama di atas perahu sangat bertolak belakang dengan kebiasaannya di rumah yang selalu aktif bergerak. Jujur, kata Fifi, ia dan suaminya membutuhkan butuh waktu meyakinkan diri untuk mulai mengajak Fara naik perahu. Khawatir bila saat di tengah laut dia meronta-ronta minta turun. “Makanya saya dan ayahnya merasa takjub Fara bisa anteng di dalam perahu layar.  Fara bahkan berani berdiri dengan tenang berpengangan pada tiang kapal, membiarkan angin memainkan rambutnya,” tutur Fifi.

Perahu Layar
Di akhir tahun 2012, Desember lalu, Fara mendapat hadiah komputer PC dari pamannya. Komputer itu ditaruh di meja kecil tempat Fara biasa mencoret-coret kertas. Sejatinya komputer itu ditujukan untuk mengalihkan Fara dari merecoki orang tuanya ketik sedang bekerja menggunakan laptop. Karena Fara senang mencoret-coret kertas, ayahnya lantas mengenalkan Fara dengan program microsoft paint.

Tidak berapa setelah itu, di layar monitor komputer Fara muncul gambar-gambar lucu. Ada gambar mirip tokoh Sponge Bob dengan berbagai versi, yang botak, pakai rambut, sedang makan es krim, dan sebagainya. Lama-lama gambar itu berkembang menjadi Sponge Bob yang sedang naik perahu lengkap dengan layarnya. Ada pula latar belakang matahari dan awan. “Saya tersentak. Gambar-gambar itu menceritakan suasana ketika kami sekeluarga naik perahu di Ancol,” kata Fifi.  

“Awalnya saya tidak yakin Fara yang membuat gambar-gambar itu. Saya bertanya kepada semua orang dewasa di rumah, dan tak seorang pun mengaku membuatnya. Sampai saya melihat sendiri kelenturan tangannya memainkan mouse mengklik icon demi icon. Wah, saya tertegun, takjub dan bersyukur, Fara punya talenta dalam menggambar,” imbuh ibu berkaca mata ini.

Rupanya Fara merekam dengan baik pengalaman-pengalaman yang diperolehnya di Ancol. Pas Tahun Baru 2013, Fifi dan suami membawa Fara dan Umar ke Sea World Ancol. Sesampai di Sea World, suasana begitu ramai, namun Fara dan Umar terlihat happy dan enjoy walau ditengah kerumunan orang. Fara sangat tertarik dengan akuarium yang berisi aneka ikan hias kecil-kecil. Lama dia tertegun di depan akuarium itu. Diajak berkeliling dia kembali lagi ke tempat itu. Fara juga suka melihat akuarium utama yang diisi oleh ikan-ikan besar, seperti ikan pari, ikan napoleon, juga penyu.

Fifi dan Wawi sempat menunda-nunda waktu untuk masuk ke dalam terowongan ikan lantaran antriannya sangat panjang, dan Fara tentu tidak bisa diajak mengantri. Dia tidak bisa berdiri diam. Sementara rugi rasanya bila tidak masuk ke dalam terowongan, karena tidak setiap saat keluarga kecil ini bisa main ke Sea World.  Akhirnya, Fifi memutuskan untuk mengantri sambil mengendong Fara yang berat badannya 17 kg. “Saya harus mengendongnya karena hanya dengan memeluknya saya bisa menahan dan menentramkan Fara bila dia ingin berlari,” kata Fifi. Sementara Umar digendong oleh ayahnya. Hampir satu jam lamanya Fifi mendekap puterinya erat-erat seraya terus membujuknya agar perhatian Fara tertuju pada atraksi di akuarium utama, dimana ada petugas sedang memberi makan pada ikan-ikan di sana.

“Lega rasanya ketika kaki menapak memasuki area terowongan. Fara saya turunkan dari gendongan, dan dia mengamati ikan-ikan yang lalu lalang di atas kepalanya. Hari itu kami pulang disaat hari sudah senja. Sekujur badan terasa letih,” ujar Fifi.

Perjuangan Fifi di Sea World berbuah hasil yang menakjubkan. Beberapa minggu setelah itu, Fara menggambar ikan-ikan kecil di komputer.  Ikan-ikan yang berwarna warni itu berada dalam sebuah kotak. Diluar kotak ada sosok orang yang memegang huruf F. Ketika ditanya siapa orang yang ada di gambar itu, Fara menjawab, “Itu Fara”. Ternyata ia menggambar dirinya sendiri sedang melihat ikan yang berenang di akuarium. Kemudian Fara membuat gambar yang lain. Kali ini sosok “Fara” itu berada dalam kotak dan ikan-ikan berada di luar area kota. “Fara dalam terowongan ikan,” katanya kepada ibunya sambil menujuk gambar itu.

Talenta Fara dalam menggambar adalah anugerah yang sangat disyukuri Fifi dan Wawi. Dengan perbendaharaan kata yang masih terbatas ia bisa mengekspresikan imajinasi dan isi hatinya melalui menggambar. “Hati saya terharu. Ancol, telah turut membangun dan mengasah talenta itu dengan memberikan pengalaman-pengalaman indah kepada Fara. Padahal tadinya kami hanya ingin sekadar berekreasi dan mengusir kejenuhan di rumah,” tutur ibu dua anak ini dengan nada haru.

Maestro Masa Depan
Pada akhir Maret ini, sekolah Fara akan field trip ke Gelanggang Samudera Ancol.  Mendengar kata Ancol, Fifi langsung bersemangat. Terbayang Fara akan mendapatkan pengalaman baru dan akan muncul imajinasi-imajinasi baru yang dituangkan dalam gambar-gambarnya. “Sudah banyak gambar yang dibuat Fara. Sampai sekarang saya terus menyimpan karya-karyanya. Saya sedang mencari guru les lukis untuk mengarahkan dan mengembangkan bakat Fara. Entahlah, hati ini berbisik, suatu saat Fara bisa menjadi maestro dalam melukis. Kalau kelak itu menjadi nyata, maka saya katakan semua itu bermula dari kenangan indah yang diperolehnya di Ancol,” tandas sang bunda** (ff).


Lukisan Fara yang menceritakan dirinya melihat ikan dalam akuarium di Sea World Ancol




Lukisan fara yang menceritakan dirinya sedang berada dalam terowongan ikan Sea World Ancol.




 
Fara menggambar dirinya sedang naik perahu layar

----------------“” ------------------

Wednesday, February 27, 2013



Rekreasi ke Ancol Mengasah Talenta Anak

By: Faizah Fauzan

Saya ingin berterima kasih kepada Taman Impian Jaya Ancol  (TIJA). Tempat ini, tanpa saya dan suami sadari telah  telah mengasah talenta anak kami dalam menggambar. Fara namanya. Ketika tulisan ini saya tulis, usianya 4 tahun 6 bulan. Fara adalah anak pertama kami. Ia lahir tanggal 17 Agustus 2008. Ia memiliki seorang adik laki-laki bernama Umar yang kini berusia 2 tahun 9 bulan.

Sejujurnya, sebagai ibu, saya menyimpan kekhawatiran terhadap Fara. Di awal masa tumbuh kembangnya, Fara terlihat aktif dan energik. Ia sudah bisa berjalan di usia 10 bulan. Dan di usia itu pula ia mulai bernyanyi, menirukan lagu-lagu yang didengarnya VCD atau pun situs Youtube. Mungkin orang bilang Fara hanya bersenandung, tapi saya memastikan ia bernyanyi karena ia tidak hanya bergumam melainkan ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Fara menirukan syair lagu dengan bahasa bayinya. Masih teringat jelas betapa lucunya ia menirukan lagu Barnie “I love you, you love me, we are happy family” dengan kata-kata “mi ami … mi ami”.

Namun sampai menginjak usia 18 bulan, Fara hanya bernyanyi. Tak ada kata-kata percakapan. Yang keluar dari mulutnya hanya nyanyian. Begitu terbangun di pagi hari, ia sudah bernyanyi. Fara akan terus bernyanyi sepanjang hari. Bahkan dalam menangis dan berurai air mata pun Fara mengungkapkan perasaannya dengan bernyanyi. Mungkin bisa dibayangkan, dalam kondisi mata basah, Fara menyanyikan lagu “Kasih Ibu” dengan tersedu-sedu.” Bila suara nyanyian tidak lagi terdengar di seantero rumah, itu berarti Fara sudah tertidur.   

Diusianya yang belum genap 2 tahun Fara sudah hafal lebih dari sepuluh lagu.Orang-orang banyak berkata, “Wah hebat ya, masih kecil sudah pintar bernyanyi.” Namun pujian itu membuat hati saya getir. Fara memang mudah sekali menghafal syair lagu yang didengarnya, tapi ia tidak merespon kata-kata yang diucapkan ayah ibunya. Fara tidak mengulang ucapan yang kami katakan. Tidak ada fase ekolali yang lazim biasa dialami anak-anak, sehingga di usia 18 bulan itu pembedaharaan kata yang dikuasainya minim sekali. Tak sampai 5 kata situasional yang bisa diucapkan, yakni meong (ketika melihat gambar kucing), mati (ketika melihat komputer dalam proses shut down), dan  buka (ketika meminta dibukakan sesuatu). Padahal mestinya anak seusia Fara sudah mengenal puluhan bahkan lebih dari 100 kata.

Ada banyak nama yang membayang-bayangi kondisi anak kami. Speech delay, autisme, attention hyperactivity disorder (ADHD), attention deficit disorder (ADD), dan lainnya. Namun saya ingin larut dalam label apapun pada gadis kecil kami. Bagi saya dan suami, fokus mencari solusi yang tepat lebih penting dilakukan dari pada menamai Fara dengan salah satu penyakit gangguan tumbuh kembang. Karena itu, dalam kondisi hamil besar, saya dan suami membawa Fara untuk diobservasi di RSBA Harapan Kita, Jakarta. Tim ahli yang memeriksa mengatakan Fara perlu diterapi. Kami diarahkan untuk membawa Fara menjalani terapi sensori integrasi. Fara mulai menjalaninya pada bulan April 2010, seminggu menjelang saya melahirkan Umar, anak kedua kami. Alhamdulillah, dalam beberapa terapi kemampuan Fara untuk mengulang kata-kata sudah muncul. Ini menjadi titik terang bagi kami untuk melatih kemampuan tumbuh kembang Fara yang lain.

Hingga kini Fara menjalani tiga jenis terapi, yaitu sensori integrasi, terapi okupasi, terapi wicara, dan terapi perilaku. Ia sudah bisa menjawab pertanyaan dan mengutarakan perasaan dan keinginanannya. Sosialisasi ingin bergaul dengan teman sudah mulai terlihat. Walau masih ada beberapa hal lazimnya dikuasai anak-anak seusianya yang belum bisa dilakukan Fara.

Sejak Fara berusia 10 bulan, kami beberapa kali membawanya ke Taman Impian Jaya Ancol. Ini menjadi agenda rutin kami bila ada saudara dari kampung datang ke Jakarta. Wahana yang cukup sering dikunjungi Fara adalah wahana Atlantis. Ia sangat menikmati bermain air di tempat ini, terutama di kolam bola. (Sayang sekarang kolam bola sudah tidak ada. Terakhir kami ke Atlantis, arena kolam bola sudah berubah menjadi kolam apung). Sayang sekali ya, padahal ini salah satu arena favorit anak-anak.

Di lain waktu, kami membawa Fara bermain di Pantai Timur, lengkap dengan membawa perangkat rumah tangga ember, mangkok, sendok, dan lainnya untuk dijadikan alat pencetak istana pasir.  Biasanya kami berlama-lama bermain pasir hingga menjelang sunset.  Kami beberapa kali membawa Fara naik perahu layar yang biayanya murah meriah. Selama mengarungi Teluk Jakarta, Fara duduk dengan tenang, menikmati gemercik kala dipecah perahu. Sesekali cipratan air laut mengenai wajahnya, ia senang sekali.

Ketenangan Fara selama di atas perahu sangat bertolak belakang dengan kebiasaannya di rumah yang selalu aktif bergerak. Kami butuh waktu meyakinkan diri untuk memulai mengajak Fara naik perahu. Khawatir bila saat di tengah laut dia meronta-ronta minta turun. Bisa berabe nanti. Makanya saya dan ayahnya merasa takjub Fara bisa anteng di dalam perahu layar.  Bahkan Fara bahkan berani berdiri dengan tenang berpengangan pada tiang kapal, membiarkan angin memainkan rambutnya.

Perahu Layar
Di akhir tahun 2012, Desember lalu, Fara mendapat hadiah komputer PC dari pamannya. Komputer itu kami letakkan di meja kecil tempat Fara biasa mencoret-coret kertas. Bagi kami komputer itu bisa mengalihkan Fara dari merecoki kami ketika sedang bekerja dengan laptop. Fara ingin ikut nibrung mengetikkan angka dan huruf yang sudah dikuasainya. Kami juga memperkenalkan kepadanya program microsoft paint. Dengan mempunyai komputer sendiri, Fara bebas melakukan kreasinya.
Tidak di sangka, di layar monitor Fara muncul gambar-gambar lucu. Ada sponge bob dengan berbagai versi, yang botak, pakai rambut, sedang makan es krim, dan sebagainya. Lama-lama gambar itu berkembang menjadi sponge bob yang sedang naik perahu lengkap dengan layarnya. Ada pula latar belakang matahari dan awan. Saya tersentak. Gambar-gambar itu menceritakan suasana ketika kami sekeluarga naik perahu di Ancol.  

Awalnya saya tidak yakin Fara yang membuat gambar-gambar itu. Saya bertanya kepada semua orang dewasa di rumah, dan tak seorang pun mengaku membuatnya. Sampai saya melihat sendiri keleturan tangannya memainkan mouse mengklik icon demi icon. Wah, saya tertegun, takjub dan bersyukur, Fara punya talenta dalam menggambar. Rupanya Fara merekam dengan baik pengalaman-pengalaman yang diperolehnya di Ancol. 

Pas Tahun Baru 2013, saya dan suami membawa Fara dan Umar ke Sea World Ancol. Dari rumah perjalanannya sangat lancar, namun begitu menjelang pintu masuk Ancol kemacetan menghadang. Butuh dua jam dari lampu merah Ancol untuk sampai ke wahana Sea World. Hujan turun dengan deras, membuat suasana semakin tidak bersahabat. Rasanya ingin pulang saja, tetapi sudah kadung sampai Ancol, ya terpaksa dinikmati saja kemacetan itu. 

Sesampai di Sea World, suasana begitu ramai. Rasanya sayang sudah mengeluarkan uang namun tidak leluasa menikmati keindahan  biota laut karena berdesak-desakan. Tapi, lagi-lagi kami berpikir, perjalanan ke Sea World ini adalah untuk anak-anak, bukan untuk kami. Mereka terlihat tetap happy dan enjoy walau ditengah kerumunan orang. Fara sangat tertarik dengan akuarium yang berisi aneka ikan hias kecil-kecil. Lama dia tertegun di depan akuarium itu. Diajak berkeliling dia kembali lagi ke tempat itu. Fara juga suka melihat akuarium utama yang diisi oleh ikan-ikan besar, seperti ikan pari, ikan napoleon, juga penyu.

Kami sempat menunda-nuda waktu untuk masuk ke dalam terowongan ikan lantaran antriannya sangat panjang, dan Fara tentu tidak bisa diajak mengantri. Dia tidak bisa berdiri diam. Sementara rugi rasanya bila tidak masuk ke dalam terowongan, karena tidak setiap saat kami bisa main ke Sea World ini.  Akhirnya saya putuskan untuk mengantri sambil mengendong Fara yang berat badannya 17 kg. Saya harus mengendongnya karena dengan memeluknya saya bisa menahan dan menentramkan Fara bila dia ingin berlari. Sementara Umar digendong oleh ayahnya. Hampir satu jam lamanya kedua tangan ini mendekapnya. Mulut saya terus membujuknya sambil mengarahkannya melihat atraksi di akuarium utama, dimana petugas sedang memberi makan pada ikan-ikan di sana. Lega rasanya ketika kaki menapak memasuki area terowongan. Fara saya turunkan dari gendongan, dan dia mengamati ikan-ikan yang lalu lalang di atas kepalanya. Hari itu kami pulang disaat hari sudah senja. Sekujur badan terasa letih.

Sebulan setelah itu, Fara menggambar ikan-ikan kecil di komputer.  Ikan-ikan yang berwarna warni itu berada dalam sebuah kotak. Diluar kotak ada sosok orang yang memegang huruf F. Ketika saya bertanya kepada Fara siapa orang yang ada di gambar itu, Fara menjawab, “Itu Fara”. Ternyata ia menggambar dirinya sendiri. Kemudian Fara membuat gambar yang lain. Kali ini sosok “Fara” itu berada dalam kotak dan ikan-ikan berada di luar area kota. “Fara dalam terowongan ikan,” katanya kepada saya sambil menujuk gambar itu.

Bagi saya, talenta Fara dalam menggambar adalah anugerah. Dengan perbendaharaan kata yang masih terbatas ia bisa mengekspresikan imajinasi dan isi hatinya melalui menggambar. Hati saya terharu. Ancol, telah turut membangun mengasah talenta itu dengan memberikan pengalaman-pengalaman indah kepada Fara. Padahal tadinya kami hanya ingin sekadar berekreasi dan mengusir kejenuhan di rumah.

Pada bulan Maret ini, sekolah Fara akan field trip ke Ancol.  Mendengar kata Ancol, saya langsung bersemangat. Terbayang Fara akan mendapatkan pengalaman baru dan akan muncul imajinasi-imajinasi baru yang dituangkan dalam gambar-gambarnya. Sudah banyak gambar yang dibuat Fara. Sampai sekarang saya menyimpan karya-karyanya. Saya sedang mencari guru les lukis untuk mengarahkan dan mengembangkan bakat Fara. Entahlah, hati ini berbisik, suatu saat Fara bisa menjadi maestro dalam melukis. Kalau kelak itu menjadi nyata, maka saya katakan semua itu bermula dari kenangan indah yang diperolehnya di Ancol. 



Gambar 1. Fara sedang melihat ikan yang berwarna warni dalam akuarium.


Gambar 2. Fara sedang berada dalam terowongan ikan.





Gambar 3. Fara sedang berlayar.